Menggapai Ananda

(cerita dari penyunting buku Hindu Dharma abad XXI tahun 1996)

Pada 25 januari 1980, saya bertemu di rumah seorang teman . Karena lantai rumahnya bersih, mengkilat,  dan licin, saya melepas sepatu. Begitu bertemu dengan sang teman, saya memberi hormat gaya Jepang, membungkukkan punggung keras-keras sehingg badan saya melengkung kaya lengkungan penjor. Dan astaga, disaat itu saya baru melihat, kaus kaki saya bolong-bolong.

Saya jadi agak kikuk. Meskipun sang teman tidak ngenyek, namun ada setitik rasa malu di dalam hati saya. Belakangan ketika saya merenungkan peristiwa itu, saya berkesimpulan bahwa saya masih terikat sekali kepada benda-benda duniawi. Dan keterikatan itu juga dibuktikan dengan contoh-contoh lain: misalnya kehilangan uang atau barang. Setiap ketiban nasib sial, saya merasa sedih. Sebaliknya ketika menerima nasib baik, kegembiraan saya melonjak-lonjak. Singakatnya, emosi saya sering bergenjolak, bagaikan air laut di pesisir pantai. Jadi belum seperti air laut di tengah lautan lepas. Tenang. Apalagi seperti air bening di tempayan dimana kita bisa melihat cahaya bulan seindah aslinya.


***

Lebih dari 10 tahun kemudian, saya kembai bertemu dengan teman tadi di sebuah tempat. Ia tampak senang dan menyalami saya. “Selamat. Kau kan sekarang kan sudah jadi boss?” tanyanya. Saya tak tahu kemana arah pertanyaannya. Mungkin karena basa basi saja. Dalam pengakuannya yang lebar, ia mengatakan, hidupnya kini telah sukses dari segi ekonomi. Mobilnya lebih dari satu. Jika mau beli lagi, duit bukan bukan persoalan lagi. Namun bagi dia, soal benda materi tidak membuat ia betah hidup di dunia ini. Ada sesuatu yang ia belum peroleh dalam hidupnya. Apa itu? Ia sendiri tak bisa menjawab secara pasti. “Kau banyak uang, namun mungkin kau belum merasa bahagia.”, kata saya. Ia manggut-manggut. “Mungkin. Semua orang tentu mencari kebahagiaan, Tapia apa itu kebahagiaan? Bagamaina cara mendapatkannya. Aku sudah bekerja keras. Pendapatanku besar. Namun maengapa malah aku sering stress? Apa sih sebenarnya kebahagiaan itu?” tanyanya.
Pertanyaan serupa sering kali terlontar dari sejumlah orang. Kata itu mudah diucapkan, namun jarang bisa dinikmati. Menurut Yudhisthira, kebahagiaan adalah hasil perbuatan baik. Jawaban itu terlontar ketika Yudhisthira diuji oleh Yaksa dalam hutan pengasingan. Selanjutnya orang yang bahagia menurut putri kunti itu adalah orang yang di dalam rumah tangganya sendiri setiap hari mampu menanak nasi, sekadar sayur mayur, dalam waktu seperlima atau seperenam hari, tidak mempunyai utang, dan tidak membuat keributan di dalam rumah tangga.
Jadi semua orang ingin meraih kebahagiaan. Namun ketika ditanya bagaimana cara meraih kebahagiaan keliru. Banyak orang ingin mencari kebahagiaan, namun jalan yang mereka tempuh adalah untuk menari kesenangan sesaat, atau bahkan menuju kesengsaraan. Banyak orang mengatakan, kebahagiaan bisa diraih bila ada uang. Uanglah yang kini berkuasa. Jika ada uang, apapun bisa diperoleh benarkah???
Menurut teman-teman, kebahagiaan itu apa??
Tinggalkan komenmu dibawah ini.
(Re-written by Arik Budiarsana)

0 comments: